Selasa, 08 Mei 2012

Pengumuman Finalis dan Juara Lomba Esai


Presentasi finalis dilaksanakan tanggal 10 Mei 2012
Nama - nama yang tertera di bawah ini berhak mengikuti presentasi finalis lomba esai di ruang kuliah I pukul 18.00

1. Imas Rifki Sahara
2. Prisma Wahyuning Inayah
3. Ajeng Maharani Sri Pananjung
4. Rizky Triandari
5. Zulaikha Rachmi Imamah

Selamat atas terpilihannya saudara sekalian sebagai finalis,


Dan Juara yang terpilih adalah,.

1. Rizky Triandari
2. Prisma Wahyuning Inayah
3. Zulaikha Rachmi Imamah


Salam Berkarya Karisma!

Selasa, 01 Mei 2012

Antibiotik Adalah Obat Super?

Mengubah Paradigma Masyarakat “Antibiotik Adalah Obat Super”


Dewasa ini jika kita melihat konsumsi antibiotik di masyarakat maka sepertinya hampir sama dengan konsumsi kacang goreng. Orang membeli kacang goreng dengan bebas dan sangat mudah ketika mereka menginginkannya.Demikian pula dengan antibiotik, masyarakat saat ini dengan bebasnya membeli antibiotik di apotek meskiu tanpa resep dokter. Paradigma yang tumbuh dan berkembang saat ini adalah sebagian besar masyarakat menganggap bahwa antibiotik merupakan obat super atau obat sapu jagad,yang artinya segala macam penyakit akan sembuh ketika diobati dengan antibiotik. Paradigma lain yakni masyarakat seringkali beranggapan, jika berobat ke dokter dan tidak diberi antibiotik, maka kurang ‘paten’ penyembuhannya, layaknya sayur yang dimasak tanpa garam.


Mekipun pada beberapa kasus penggunaan antibiotik yang ditemukan sampai saat ini memang terbilang ampuh untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh infeksi(selama penggunaannya tepat), namun terkadang kita lupa bahwa antibiotik hanyalah obat anti-infeksi yang hanya bisa bekerja pada bakteri saja. Penyakit-penyakit lain yang tidak diakibatkan oleh bakteri, seperti flu yang disebabkan oleh virus, tidak dapat diobati dengan antibiotik.


Yang lebih mengkhawatirkan, dan bisa jadi membahayakan, penggunaan antibiotik yang tidak tepat yang terjadi secara meluas yang tidak hanya di Indonesia namun juga di berbagai tempat di dunia pada masa yang sama, disinyalir telah menyebabkan meningkatnya resistensi antibiotik secara global. Begitu besarnya penggunaan antibiotik yang tidak rasional sampai-sampai pada hari kesehatan Internasional tahun 2011, WHO menetapkan tema Antimicrobacterial Resistance and its Global Spread. Senada dengan WHO Indonesia juga memilih tema yang hampir sama yaitu “Gunakan Antibiotik Secara Tepat untuk Mencegah Kekebalan Kuman”.


Berbagai studi menemukan 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat, antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Di negara berkembang hanya 30-50% penderita pneumonia mendapat terapi antibiotik secara tidak tepat. Menurut WHO, telah terjadi peningkatan 440.000 kasus baru akibat multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) setiap tahun dan menyebabkan sekurang-kurangnya 150.000 kasus kematian per tahun.


WHO memperkirakan, pada tahun 2009, Indonesia menduduki peringkat ke-delapan dari 27 negara dengan beban MDR tinggi. Diperkirakan terdapat 12.209 pasien MDR-TB di seluruh Indonesia pada tahun 2007 dan akan ada sekitar 6.395 pasien MDR-TB baru setiap tahunnya. Data tersebut menggambarkan besarnya masalah yang timbul akibat resistensi antimikroba pada pengendalian salah satu penyakit menular di Indonesia, Pengendalian Penyakit Tuberkulosis.


Penelitian lain yang dilakukan oleh US National Ambulatory Medical Care Survey, pada tahun 1989, setiap tahun sekitar 84% setiap tahun setiap anak mendapatkan antibiotika. Hasil lainnya didapatkan 47,9% resep pada anak usia 0-4 tahun terdapat antibiotika. Angka tersebut menurut perhitungan banyak ahli sebenarnya sudah cukup mencemaskan. Dalam tahun yang sama, juga ditemukan resistensi kuman yang cukup tinggi karena pemakaian antibiotika berlebihan tersebut.


Di Indonesia sendiri belum pernah dilakukan penelitian yang resmi mengenai penggunaan antibiotik yang tidak rasional, sehingga masyarakat cenderung tidak khawatir dan sepertinya tidak bermasalah. Tetapi berdasarkan tingkat pendidikan atau pengetahuan masyarakat serta fakta yang ditemui sehari-hari, tampaknya pemakaian antibiotika di Indonesia jauh banyak dan lebih mencemaskan dan secara tidak langsung mencegah tubuh kita agar tidak terinfeksi bakteri jahat.


Sebenarnya indikasi yang tepat dan benar dalam pemberian antibiotika pada anak adalah bila penyebab infeksi tersebut adalah bakteri. Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) indikasi pemberian antibiotika adalah bila batuk dan pilek yang berkelanjutan selama lebih 10 – 14 hari.yang terjadi sepanjang hari (bukan hanya pada malam hari dan pagi hari). Batuk malam dan pagi hari biasanya berkaitan dengan alergi atau bukan lagi dalam fase infeksi dan tidak perlu antibiotika. Indikasi lain bila terdapat gejala infeksi sinusitis akut yang berat seperti panas > 39oC dengan cairan hidung purulen, nyeri, pembengkakan sekitar mata dan wajah. Pilihan pertama pengobatan antibiotika untuk kasus ini cukup dengan pemberian Amoxicillin, Amoxicillinm atau Clavulanate. Bila dalam 2 – 3 hari membaik pengobatan dapat dilanjutkan selama 7 hari setelah keluhan membaik atau biasanya selama 10 – 14 hari.


Indikasi lainnya adalah radang tenggorokan karena infeksi kuman streptokokus. Penyakit ini pada umumnya menyerang anak berusia 7 tahun atau lebih. Pada anak usia 4 tahun hanya 15% yang mengalami radang tenggorokan karena kuman ini. Penyakit yang lain yang harus mendapatkan antibiotika adalah infeksi saluran kemih dan penyakit tifus Untuk mengetahui apakah ada infeksi bakteri biasanya dengan melakukan kultur darah atau urine. Apabila dicurigai adanya infeksi saluran kemih, dilakukan pemeriksaan kultur urine. Setelah beberapa hari akan diketahui bila ada infeksi bakteri berikut jenis dan sensitivitas terhadap antibiotika. Untuk mengetahui penyakit tifus harus dilakukan pemeriksaan darah Widal dan kultur darah gal. Anak usia di bawah 5 tahun yang mengalami infeksi virus sering mengalami overdiagnosis penyakit Tifus. Sering terjadi kesalahan persepsi dalam pembacaan hasil laboratorium karena spesifitas tes Widal tidak terlalu baik.


Sebagian besar masyarakat tidak mengetahui bahwa kasus penyakit pada anak yang berobat jalan penyebabnya adalah virus. Dengan kata lain seharusnya kemungkinan penggunaan antibiotika yang benar tidak besar atau mungkin hanya sekitar 10 – 15% penderita anak. Penyakit virus adalah penyakit yang termasuk “self limiting disease” atau penyakit yang sembuh sendiri dalam waktu 5 – 7 hari. Sebagian besar penyakit infeksi diare, batuk, pilek dan panas penyebabnya adalah virus. Secara umum setiap anak akan mengalami 2 hingga 9 kali penyakit saluran napas karena virus.


Sebuah penelitian terhadap gejala pada 139 penderita pilek(flu) karena virus didapatkan bahwa pemberian antibiotik pada kelompok kontrol tidak memperbaiki cairan mucopurulent dari hidung. Antibiotika tidak efektif mengobati Infeksi saluran napas Atas dan tidak mencegah infeksi bakteri tumpangan. Sebagian besar infeksi Saluran napas Atas termasuk sinus paranasalis sangat jarang sekali terjadi komplikasi bakteri. Sebenarnya sangat perlu adanya pemahaman bagi para dokter utamnya dan masyarakat pada umumnya bahwa pilek, panas dan batuk adalah gejala dari Infeksi Saluran Pernapasan Atas yang disebabkan virus. Perubahan warna dahak dan ingus berubah menjadi kental kuning, berlendir dan kehijauan adalah merupakan perjalanan klinis Infeksi Saluran Napas Atas karena virus, bukan merupaklan indikasi antibiotika.


Pemahaman bagi masyarakat umum dapat dilakukan melalului kader-kader posyandu yang ada di pedesaan. Mungkin hal ini terasa amat sepele, numun akan mendatangkan manfaat yang mat besar. Apabila para orang tua dibekali dengan pengetahuan tersebut maka ketika anak mereka sakit merekatidak perlu membawa ke dokter dan pada nantinya akan diberi obat yang mengandung antibiotik namun cukup ditunjang dengan makan makanan yang bergizi. Untuk meyakinkan masyarakat bila perlu kampanye tersebut mendatangkan dokter sehingga masyarakat akan lebih percaya karena informasi tersebut mereka dapat dari pihak yang berkompeten.


Ironisnya dampak dari penggunaan antibiotik yang tidak rasional kini mulai bermunculan. Beberapa ahli kesehatan di penjuru dunia mulai menemukan sebuah bakteri superbug atau bakteri yang kebal terhadap antibiotika. Berbeda dengan berbagai temuan berbagai virus baru ganas seperti flu burung, SARS atau flu babi yang dapat sembuh sendiri tanpa diobati. Bakteri ganas ini bila menjangkiti seseorang, maka orang tersebut akan terancam nyawanya tanpa ada obat atau antibiotika yang melawannya.


Bakteri “super” atau superbug yang disebut NDM-1 (New Delhi Metallo-beta-laktamase-1) ini telah muncul di India, Pakistan, Inggris, Amerika dan berbagai belahan dunia lainnya. Bakteri ini juga telah menyebar di rumah sakit di Inggris, para ahli kesehatan dunia memperingatkan bakteri “super” ini bisa menjadi masalah besar di seluruh dunia. Para ahli di Amerika di CDC memperkirakan bahwa hampir 100.000 orang meninggal akibat bakteri superbug di seluruh rumah sakit setiap tahun. Hampir 1.700.000 pasien di rumah sakit terjangkit infeksi yang tidak ada obatnya ini. Pada tahun 2007, sembilan atlet dari Iona College di New York terkena Methicillin-resistant Staphylococcus aureus atau MRSA, infeksi yang masuk dalam keluarga stafilokokus ini ternyata sudah termasuk dalam bakteri superbugs.


New Delhi Metallo-beta-laktamase, atau NDM-1 adalah sebuah enzim yang jika ditemukan dalam bakteri umum seperti E. coli, Salmonella dan K. pneumonia dapat menjadi sangat berbahaya. Bakteri ini adalah yang paling resisten terhadap antibiotik. NDM-1 ini merupakan ancaman, sangat serius bagi umat manusia di dunia. Keadaan ini secara pasti akan mengancam nyawa jutaan umat manusia bila tidak ditemukan antibiotika untuk menangkalnya. Sebuah jalan terakhir dan juga harapan terakhir untuk mengatasinya ada pada antibiotik, carbapenem. Sayangnya hingga saat ini bakteri superbug NDM-1 ini benar-benar resisten terhadap antibiotik secanggih carbapenem.


Apabila konsumsi akan antibiotik yang tidak rasional terus meningkat maka perlu adanya tindakan dari pemerintah misalnya dengan adanya peraturan khusus penjualan antibiotik layaknya pada obat golongan narkotika da psikotropika. misalnya perlu adanya laporan khusus kepada lembaga yang berwenang dalam hal ini adalah Dinas Kesehatan, dan peresespan antibiotik diberi tanda khusus seperti garis bawah berwarna hijau.


Perlu adanya usaha untuk memfokuskan diri utamanya bagi negara berkembang dalam rangka menghapus akses tidak terkontrol terhadap antibiotik. Seperti tindakan pencegahan yang sangat sederhana dan mudah dilakukan misalnya memerbaiki sanitasi, begitu juga tindakan sering mencuci tangan, dapat memastikan bahwa orang akan lebih jarang sakit, dan karena itu hanya akan menularkan lebih sedikit infeksi yang resisten pada orang lain.


Sedangkan untuk negara-negara industri perlu memfokuskan diri pada tindakan-tindakan pencegahan seperti sering mencuci tangan dan membatasi penggunaan antibakteri, membangun lebih banyak vaksin yang dapat mencegah populasi tertentu yang rentan terhadap penyakit seperti anak-anak, mengendalikan bakteri multi-resisten di dalam rumah sakit dan komunitas tertentu, dan mengurangi penggunaan antibiotik pada peternakan hewan dan agrikultura.


Perlu adanya usaha bersama untuk mengubah paradigma masyakat yang selama ini tubuh dan berkembang yakni “antbiotik adalah obat super”. Untuk mensukseskan usaha tersebut perlu adanya dukungan dari semua pihak baik dari pemerintah yang dalam hal ini dapat mengadakan suatu program penyuluhan kepada masyarakat umum dan pembinaan khusus untuk para tenaga medis yang ada sehingga dokter tidak sembarangan meresepkan antibiotik kepada pasiennya, dan para apoteker tidak dengan mudahnya melayani pembelian obat golongan antibiotik tanpa adanya resep. Bahkan jika perlu maka pembelian antibiotk diatur secara khusus layaknya obat narkotika dan psikotropika misalnya perlu adanya laporan khusus kepada lembaga yang berwenang dalam hal ini adalah Dinas Kesehatan, dan peresespan antibiotik diberi tanda khusus seperti garis bawah berwarna hijau. Diharapkan dengan adanya hal tersebut maka pembelian atau konsumsi antibiotik dapat digunakan dengan semestinya. Yang paling utama perlu adanya kesadaran dari masyarakat sendiri untuk mengubah paradigma tersebut mengingat sudah banyak kasus-kasus yang tidak diinginkan sehubungan dengan penggunaan antibiotik yang tidak lagi rasional.


Oleh: Prisma Wahyuning Inayah






Optimalisasi Obat Herbal Indonesia


Sinergisitas Akademisi Farmasi, Industri Farmasi, Dan Pemerintah Sebagai Upaya Mewujudkan Kesehatan Dunia Melalui Optimalisasi Obat Herbal Indonesia


Negara Indonesia adalah negara yang memiliki potensi kekayaan obat herbal nomor dua di dunia setelah Brazil. Indonesia juga mendapat sebutan sebagai Live Laboratory karena sekitar 3000 tanaman obat dapat ditemukan di Indonesia, sehingga tidak diragukan lagi bahwa Indonesia merupakan gudangnya tanaman obat. Dengan kondisi kekayaan alam yang seperti ini tentu Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan obat herbal yang kualitasnya setara dengan obat modern. Akan tetapi, sumber daya alam tersebut belum dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan masyarakat. Baru sekitar 1200 species tanaman obat yang dimanfaatkan dan diteliti sebagai obat tradisional. Beberapa spesies tanaman obat yang berasal dari hutan tropis Indonesia justru digunakan oleh negara lain. Sebagai contoh adalah para peneliti Jepang yang telah mematenkan sekitar 40 senyawa aktif dari tanaman yang berasal dari Indonesia. Bahkan beberapa obat-obatan yang bahan bakunya dapat ditemukan di Indonesia telah dipatenkan dan diproduksi secara besar-besaran di negara lain sehingga memberi keuntungan yang besar bagi negara tersebut (Johnherf , 2007).

Sejak dahulu bangsa Indonesia telah mengenal dan memanfaatkan tumbuhan berkhasiat obat sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi masalah kesehatan, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat-obatan modernnya dikenal masyarakat. Pengetahuan tentang pemanfaatan tanaman obat tersebut merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun hingga ke generasi sekarang, sehingga tercipta berbagai ramuan tumbuhan obat yang merupakan ciri khas pengobatan tradisional Indonesia. Dengan demikian, selain memiliki kekayaan hayati yang besar, pengetahuan masyarakat lokal tentang pemanfaatan sumber daya hayati tersebut cukup tinggi. Oleh karena itu, tidaklah bijaksana apabila pengobatan penyakit dan pemeliharaan kesehatan dengan pemanfaatan tumbuhan obat tidak diupayakan untuk dikembangkan bagi kepentingan masyarakat dan bangsa (Jhonherf, 2007).

Pemanfaatan obat tradisional untuk pemeliharaan kesehatan dan gangguan penyakit hingga saat ini masih sangat dibutuhkan dan perlu dikembangkan, terutama dengan melonjaknya biaya pengobatan dan harga obat-obatan. Adanya kenyataan bahwa tingkat kebutuhan masyarakat terhadap pengobatan semakin meningkat, sementara taraf kehidupan sebagian masyarakat kita masih banyak yang kemampuannya pas-pasan. Maka dari itu, pengobatan dengan bahan alam yang ekonomis merupakan solusi yang baik untuk menanggulangi masalah tersebut. Dengan kembali maraknya gerakan kembali ke alam (back to nature), kecenderungan penggunaan bahan obat alam/herbal di dunia semakin meningkat. Gerakan tersebut dilatarbelakangi perubahan lingkungan, pola hidup manusia, dan perkembangan pola penyakit. Obat yang berasal dari bahan alam memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan obat-obatan kimia, karena efek obat herbal bersifat alamiah. Dalam tanaman-tanaman berkhasiat obat yang telah dipelajari dan diteliti secara ilmiah menunjukan bahwa tanaman-tanaman tersebut mengandung zat-zat atau senyawa aktif yang terbukti bermanfaat bagi kesehatan(Maheswari, 2002).

Menurut WHO, berdasarkan data pada Herbal Expo tahun 2010,minat masyarakat dalam menggunakan obat herbal terus meningkat berdasarkan konsep back to nature (kembali ke alam). Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya pasar obat alami Indonesia. Pada 2003 pasar obat herbal sekitar Rp 2,5 triliun, pada 2005 sebesar Rp 4 triliun, dan pada 2010 diperkirakan mencapai Rp 8 triliun. Sedangkan di Amerika bisnis herbal tumbuh 35 persen per tahun (1988 -1997). Hampir sepertiga orang Amerika mengonsumsi herbal. Di Eropa pasar herbal saat ini bernilai 7,4 miliar dolar. Di Eropa herbal telah diklasifikasikan sebagai `obat.’ Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan terjadinya perubahan perilaku masyarakat dan pergeseran pola penyakit dari infeksi menjadi penyakit degeneratif, sehingga dibutuhkan obat dengan efek samping yang lebih aman bila dibandingkan dengan obat kimia, sebab penyakit degenaratif menggunakan obat dalam pemakaian jangka panjang.

Kondisi Indonesia dengan kekayaan obat herbal yang tidak diragukan lagi seharusnya mampu menjadi peluang besar bagi negara ini untuk mengoptimalkan sumber daya alam yang ada. Posisi ke-2 yang telah berhasil mengalahkan Cina yang berada pada urutan ke-3 tidak lantas membuat obat herbal Indonesia memiliki bargaining yang bagus di pasaran. Dominasi obat Cina tidak dapat dipungkiri bahwa sampai sekarangpun masih menguasai pasar Indonesia bahkan dunia. Bila keadaan ini tetap dibiarkan maka posisi Indonesia di mata dunia juga akan terancam. Indonesia tidak lagi memiliki integritas serta dianggap sebagai bangsa murahan yang sangat mudah dieksploitasi kekayaan alamnya. Pihak-pihak yang terkait dalam hal ini seperti akademisi farmasi, pemerintah serta pengusaha yang bergerak di bidang industry farmasi haruslah memiliki perhatian yang lebih, dalam memandang situasi ini. Diperlukan kajian strategis bersama guna melahirkan suatu solusi konkrit yang nantinya mampu mengoptimalkan pemanfaatan bahan herbal Indonesia untuk menghasilkan obat yang berkualitas yang mampu menyehatkan bangsa bahkan dunia. Sehingga visi ke depan adalah Indonesia mampu memberi sumbangan yang berarti bagi kesehatan dunia. Sebab, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa saat ini masyarakat dunia juga mempertimbangkan kembali penggunaan obat herbal.

Visi membawa obat herbal sebagai salah satu upaya untuk membantu mewujudkan kesehatan dunia, perlu diawali dengan mengkondisikan obat herbal tersebut di dalam negeri sendiri. Pengkondisian yang dimaksud adalah bagaimana bangsa Indonesia mampu mengangkat obat herbal tersebut kepada masyarakat dalam negeri sebelum obat herbal tersebut ditawarkan kepada dunia. Diperlukan pemahaman mengenai masalah – masalah yang dihadapi tanaman maupun obat herbal yang menyebabkan tanaman dan obat herbal ini tidak mendapat tempat yang layak di hati masyarakat. Selama ini telah kita ketahui bersama bahwa obat-obat herbal yang ada di pasaran dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang masih ragu menggunakan obat herbal tersebut. Keraguan yang timbul disebabkan oleh ketidakjelasan obat herbal itu sendiri, baik dari segi proses pembuatannya, tidak adanya standar khusus peresepan obat herbal, atau karena sulit dalam menentukan takaran dosis yang tepat. Sebenarnya pemerintah telah mengatur pemanfaatan herbal medik dalam fasilitas kesehatan melalui beberapa peraturan pemerintah, keputusan menteri, maupun peraturan perundang-undangan sejak 1998 hingga kini. Meskipun begitu, optimalisasi penggunaan obat herbal dalam proses pengobatan belum tercapai karena adanya beberapa kendala. Kendala tersebut antara lain, system perundangan yang kurang jelas mengenai keamanan obat herbal. Meski telah terdapat perundangan kesehatan yang mengatur penggunaan obat herbal, namun sosialisasi undang-undang tersebut masih sangat kurang sehingga anggapan yang ada pada masyarakat adalah bahwa obat herbal masih sekedar obat alternatif, bukan sebagai obat utama. Selain itu belum banyak informasi khasiat yang melalui uji klinis, belum ada kompetensi pada apoteker, kurangnya perlindungan masyarakat terhadap efek plasebo iklan obat berbahan alam, belum terhimpunnya data mengenai obat bahan alam Indonesia berdasarkan pada evidence based, kurangnya koordinasi antar institusi dalam penelitian obat bahan alam Indonesia, serta masih sedikitnya farmasist dan apoteker yang memiliki perhatian yang besar terhadap tanaman dan obat herbal Indonesia serta teknis pengembangan pemanfaatannya.

Realita di atas merupakan informasi penting bagi institusi terkait dalam kaitannya menyusun rencana strategi guna memajukan tanaman dan obat herbal Indonesia. Agar produk obat herbal Indonesia dapat menjadi sebuah produk yang bisa diandalkan dan diterima semua kalangan serta mampu bersaing secara global, maka mutunya harus ditingkatkan, keamanannya harus dibuktikan, serta manfaat atau khasiatnya harus diteliti dan dibuktikan secara ilmiah. Diperlukan sebuah langkah cerdas untuk menyiasati beberapa kendala yang dihadapi dalam usaha memajukan obat herbal, salah satunya adalah ketika kita dihadapkan pada pengujian klinis untuk obat herbal dikarenakan biayanya yang mahal, maka kita dapat menyiasatinya dengan cara menggunakan uji manfaat, yaitu dengan melihat kondisi kesehatan beberapa orang yang telah menggunkan obat herbal. Selain itu efektivitas obat herbal juga dapat dilihat dari penggunaannya yang turun temurun, Kalau sampai saat ini masih digunakan, itu berate bahwa obat herbal tersebut memang memiliki kasiat.

Usaha yang dilakukan untuk mengangkat obat herbal dalam proses pengobatan akan menghasilkan dampak signifikan yang bisa dirasakan apabila usaha ini dikawal sepenuhnya oleh pihak yang terkait di dalamnya, yaitu akademisi farmasi, industry farmasi, serta pemerintah. Pengawalan yang dilakukan oleh pihak terkait ini diharapkan mampu menjamin tercapainya visi obat herbal ke depannya. Sinergisitas ke tiga pihak ini sangat penting dalam mempercepat proses terwujudnya partispasi Indonesia dalam menyehatkan dunia. Ke tiga sector ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, sebab bila ke tiganya terpisah maka akan menyebabkan terbengkalainya program optimalisasi penggunaan obat herbal tersebut, ketiganya merupakan penguat satu sama lain dalam usaha mewujudkan tujuannya.

Di bidang akademisi farmasi, ini merupakan elemen dasar bagi tanaman dan obat herbal untuk memajukan dirinya agar lebih diterima oleh masyarakat. Di tangan para akademisi farmasi ini baik mulai dari tingkatannya yang tertinggi sampai yang terendah semuanya memiliki peran masing-masing yang tidak dapat dianggap sepele. Selama ini penelitian di bidang tanaman herbal masih sedikit sekali peminatnya, banyak kalangan kademisi farmasi seperti dosen maupun mahasiswa farmasi yang lebih tertarik pada industry farmasi. Seharusnya mereka juga memiliki kesadaran akan kekayaan bahan obat alam yang dimiliki Indonesia. Sudah saatnya fakultas-fakultas farmasi Indonesia memberikan perhatian yang besar bagi kemajuan tanaman dan obat herbal Indonesia. Diperlukan spesifikasi yang jelas dalam displin ilmu ini agar nantinya benar-bebar dapat berjalan sebuah program yang meneliti bahan alam mulai dari cara mendapatkannya sampai pada sediaan obat yang siap dikonsumsi. Era saat ini merupakan sebuah era persaingan yang cukup ketat, di mana yang mampu bertahan adalah mereka yang memiliki spesialisasi keahlian tertentu, sebab jika mereka sama dengan yang lain, maka mereka akan mudah tersisih dan tergantikan oleh yang lain. Oleh karena itu, sudah saatnya dunia pendidikan kefarmasian memberikan perhatian khusus pada pengembangan tanaman dan obat herbal.

Sehingga gambarannya ke depan, farmasi Indonesia adalah farmasi yang memiliki kekhususan mempelajari tanaman dan obat herbal. Spesialisasi ini akan membawa farmasi Indonesia menjadi sesuatu yang advance di bidangnya sehingga mampu menjadi rujukan bagi negara lain. Bila farmasi Indonesia telah memiliki kemampuan yang benar-benar ahli, maka dia tidak akan ragu lagi membawa obat herbal ini ke dalam proses pengobatan secara total. Sosialisasi penggunaan obat herbal juga sangat membutuhkan peran akademisi farmasi, karena merekalah yang memiliki metode yang cukup baik dalam melakukan interaksi dengan pasien, yaitu melalui metode Pharmaceutical care. Di dalam metode Pharmaceutical care telah terdapat panduan yang lengkap bagaimana interaksi antara seorang farmasist atau apoteker dengan pasien terjadi. Optimalisasi Pharmaceutical care akan menjamin terwujudnya penggunaan obat herbal dalam proses penyembuhan.

Pihak terkait lainnya yang tidak boleh kita lupakan adalah industry farmasi. Elemen inilah yang memproses tanaman herbal menjadi sebuah obat herbal yang layak konsumsi. Selama ini memang obat-obat Indonesia diproduksi oleh industry farmasi dalam negeri. Namun, produsennya berbeda-beda, ada PMA (Penanaman Modal Asing), PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri), BUMN, dan industri menengah dan kecil. Dari sisi jumlah, industri farmasi di Indonesia sekitar 280 perusahaan. Memang sebagian besar, hampir 80% adalah perusahaan farmasi yang penanam modalnya milik dalam negeri, dan industri kecil dan menengah. Namun, sisa 20%nya adalah perusahaan asing. Dan perusahaan asing inilah yang menguasai 80% kapital dan penguasaan atas pasar. Sehingga bisa dipastikan dari tahun ketahun harga obat menjadi naik. Selain itu, sebagian besar bahan baku obat harus impor, yaitu sekitar 95%, baik bahan berkhasiat maupun bahan pembantu. Impor bahan baku ini semakin memperparah kenaikan harga obat karena tujuan dari ekspor-impor adalah untuk mencari keuntungan.

Banyak indusrtri farmasi yang sampai saat ini  belum bisa bersaing dalam skala global dikarenakan ketidakmampuan industry tersebut memenuhi syarat sebagai industry yang layak. Sehingga diperlukan revitalisasi industry farmasi tersebut agar nantinya mereka mampu memenuhi persayaratan baik dari segi ACTD (Asean Common Technical Dosier) dan ACTR (Asean Common Technical Requirements). Peran akademisi farmasi akan terlihat di sini, mereka dituntut untuk mampu menjadikan industry farmasi ini menghasilkan obat herbal yang terstandar dan layak edar. Industry farmasi juga bisa bekerja sama dengan akademisi farmasi dalam hal penelitian dan pengembangan obat herbal. Bila program-program yang telah ditetapkan ini mampu berjalan dengan baik, maka obat dengan harga murah akan muncul di pasaran, sehingga masyarakat menengah ke bawah tidak lagi khawatir dalam membeli obat.

Elemen sinergisitas yang terakhir adalah pemerintah. Apabila akademisi dan industry farmasi telah menjalin kerja sama yang baik, maka itu belum sempurna bila pemerintah belum terlibat di dalamnya. Pemerintah memegang peran yang sangat penting dalam pencapaian visi obat herbal Indonesia karena berkaitan dengan legalitas atau perijinan. Selain itu pemerintah juga berperan dalam membentuk badan-badan yang terkait demi mendukung terlaksananya optimalisasi obat herbal dalam proses pengobatan. Selama ini badan-badan yang telah dibentuk oleh pemerintah antara lain, Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif, dan Komplementer Kementerian Kesehatan, serta Penilaian Obat Asli Indonesia BPOM. Pemerintah juga berperan penting dalam membantu terwujudnya kerjasama Indonesia dengan negara lain di dunia dalam upaya mewujudkan kesehatan dunia melalui optimalisasi obat herbal Indonesia. Sehingga dapatlah ditarik kesimpulan, jika Indonesia ingin mengoptimalkan penggunaan obat herbal dalam proses pengobatan, baik dalam tingkat nasional maupun global, maka diperlukan sinergisitas antara akademisi farmasi, industry farmasi, dan pemerintah. Peran yang baik dari masing-masing elemen akan menjadikan obat herbal Indonesia mampu diterima bangsa bahkan dunia.

Oleh: Imas Rifki Sahara


Indonesia Menggugat!


INDONESIA MENGGUGAT
 (Perjuangan Siti Fadilah Supari dalam Mendobrak Ketidakadilan  WHO dan Negara Maju dalam Penanganan Kasus Flu Burung)


Seorang remaja laki-laki asal Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, dipastikan meninggal akibat flu burung. Remaja berinisial D itu awalnya mengalami demam pada tanggal 28 Februari 2012, tetapi baru berobat ke puskesmas pada tanggal 1 Maret.  Ia akhirnya  dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mataram, namun kondisinya terus  memburuk sampai akhirnya meninggal pada tanggal 9 Maret 2012. Dengan adanya kematian D maka kasus positif flu burung di Indonesia terus bertambah. Di tahun 2012 ini saja sudah terjadi setidaknya enam kematian akibat flu burung (khabarsoutheastasia.com, 2012).

Kasus flu burung yang masih merebak pada awal tahun 2012 ini mengingatkan Indonesia  akan perjuangan Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI 2004-2009. Ia secara berani menggugat ketidakadilan sistem WHO dalam penanganan flu burung yang pada waktu itu menghantui Indonesia. Di dalam bukunya yang berjudul “ Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung” setebal 182 halaman itu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menguak konspirasi yang melibatkan organisasi internasional sekelas WHO dan negara-negara maju, terutama dalam penanganan kasus flu burung yang mulai menyerang manusia sekitar empat tahun silam.

Setelah virus flu burung menyebar dan menghantui dunia bahkan Indonesia,  permintaan akan obat tamiflu di dunia semakin meningkat.  Aroma kejanggalan telah dirasakan oleh Ibu Siti saat diborongnya obat tamiflu (nama generik : Oseltamivir) yang diproduksi di Roche (berpusat di Grenzach, Jerman) oleh negara-negara maju yang tidak memiliki kasus flu burung. Pasalnya, negara-negara berkembang dan miskin yang tertimpa flu burung justru tidak diprioritaskan dalam pengadaan obat tersebut.  Akibatnya Indonesia pun tidak kebagian obat tamiflu. Tetapi,  Ibu Siti yang juga dokter spesialis jantung ini tidak patah semangat. Ia mengumpulkan energi dan menganggarkan dana untuk dapat obat Tamiflu dalam jumlah tertentu atas anjuran WHO. Ia akhirnya terpaksa mencari jalan keluar mendapatkan Oseltamivir dari India. Untungnya juga, Indonesia mendapat sumbangan dari Thailand dan Australia. Tapi jumlahnya terbatas, karena stok di dua negera itu juga tipis.

Kejadian itu sempat meninggalkan bekas luka mendalam di hati Ibu Siti. Ia kemudian berpikir seandainya nanti ditemukan vaksin Flu Burung pada manusia, pasti negara maju dan kaya yang meraup keuntungannya. Bagaimana tidak, sampel virus flu burung yang didapat berasal negara-negara berkembang atau miskin yang notabene secara ilmu dan finansial belum mampu untuk melakukan pengembangan sebuah vaksin. Setelah vaksin berhasil dikembangkan dan dikomersialkan pun  harganya juga hanya bisa ditentukan oleh produsen vaksin yang hampir semuanya berada di negara industri yang kaya. Tentu  dengan  harga  yang sangat mahal tanpa mempedulikan alasan sosial kecuali alasan ekonomi. Tak heran bila 90 persen perdagangan vaksin di dunia dikuasai hanya oleh 10 persen penduduk dunia yang tersebar di negara-negara kaya.

Praktik kecurangan neokolonialisme (ketidakberdayaan suatu bangsa menjadi sumber keuntungan bangsa yang lain) juga dirasa oleh Ibu Siti sedang terjadi pada kubu WHO. Bagaimana tidak,  aturan Global Influenza Surveilance Network (GISN) bahwa semua spesimen Influenza termasuk flu burung wajib dikirim ke WHO untuk riset para pakar yang nantinya apabila berhasil dikembangkan akan dibuat suatu vaksin yang lagi-lagi akan sangat menguntungkan negara-negara maju. Indonesia yang kala itu dipaksa WHO agar mengirimkan sampel virus flu burung enggan untuk melakukan hal tersebut.  Pasalnya, Ibu Siti beranggapan bahwa tidak adanya keadilan, transparasi data, dan kesetaraan dalam pola itu. Ia lantas berpraduga bukannya dimanfaatkan untuk kesehatan seluruh dunia, virus itu malah disalahgunakan oleh negara kaya untuk membuat komoditas dagang, antara lain dalam bentuk vaksin. Bahkan ada kemungkinan dijadikan senjata biologis. Celakanya, negara miskin pasti kesulitan mendapatkan vaksin tersebut karena sudah diborong negara lain yang belum terkena virus tersebut untuk pencegahan. Ketika negara miskin makin terpuruk gara-gara virus, negara kaya datang bak dewa penolong dengan memberikan sumbangan yang tidak seberapa dibanding keuntungan mereka dari berdagang vaksin.

Ibu Siti sangat marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu menjadi milik mereka dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin.  Dengan adanya sistem seperti ini, negara-negara penderita flu burung seakan tak berdaya dihadapan WHO melalui GISN.

Kekecewaan Ibu Siti kepada WHO tidak hanya sebatas itu. Ia juga membeberkan kasus klaster terbesar di dunia,  yakni di Tanah Karo, Sumatera Utara, dengan kematian tujuh dari delapan orang bersaudara yang menderita Flu Burung. Para pakar dari WHO yang hampir semuanya  epidemiolog menyimpulkan bahwa klaster yang terjadi di Tanah Karo adalah suatu kejadian penularan human to human transmission. Ibu Siti menilai kesimpulan itu sungguh sangat sembrono. Pasalnya, belum ada laporan mengenai perubahan bentuk dan fungsi dari DNA virus flu burung yang ditemukan di Tanah Karo, namun berita yang dipaparkan di dalam negeri maupun di luar negeri sangat arogan dan sadis. Bahkan, CNN dengan headline news menyiarkan berita ke seluruh dunia bahwa pandemik flu burung yang ditakutkan umat manusia sedunia sudah dimulai.

Ibu Siti lalu meminta bantuan pada seorang ilmuwan molecular biologist yang cukup dikenal di dunia yang juga merupakan pimpinan labotarium Eijkman yang berpusat di Jakarta. Ia meminta agar labotarium Eijkman membuat sequencing DNA virus Flu Burung dari Tanah Karo. Lembaga itu menyanggupi. Tetapi seakan hanya angin lalu, hasil data sequencing DNA yang diperoleh hanya ditanggapi cuek oleh masyarakat internasional dengan dalil laboratorium tersebut belum diakui oleh WHO.

Dibuat gerah oleh sikap tersebut, Melalui pertemuan AIPI,  Ibu Siti meminta transparansi hasil sequencing DNA dipublikasikan dengan cara dikirim ke Gen Bank (Genetic Sequence Data Bank), yang dikelola National Institute of Health America, dengan alasan perkembangan ilmu pengetahuan. Permintaan Ibu Siti disetujui dan tahun 2008 sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia mempelopori ketransparanan data sequencing DNA virus flu burung H5N1 yang sedang melanda dunia. Dari data tersebut, para ilmuwan dunia akhirnya dapat mengakses DNA flu burung H5N1, mulai dari sequencing DNA dan translasinya serta data ini dipublikasikan ke seluruh dunia.

Atas dedikasinya itu, sejumlah media luar negeri menulis Siti Fadilah Supari sebagai sang Maestro. Satu diantaranya menuliskan bahwa Menteri Kesehatan Indonesia itu seperti tambang emas yang kini muncul di bumi. Majalah The Economist London menempatkan Ibu Siti sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung. Dengarlah apa kata majalah top dunia seperti The Economist (6 Agustus 2006):
For the sake of basic human interest, the Indonesian government declares that genomic data on bird flu viruses can be accessed by anyone. With those words, spoken on August 3rd (2006), Siti Fadilah Sapari started a revolution that could yet save the world from the ravages of pandemic disease. That is because Indonesia’s health minister has chosen a weapon that may prove more useful than todays best vaccines in tackling such emerging threats as avian flu: transparency

Ibu Siti yang kala itu menjadi Menteri Kesehatan Republik Indonesia bak sang hero bagi Indonesia dengan membuat tindakan dan pernyataan mengejutkan yang cenderung berani. Gebrakan-gebrakan dengan idealisme tinggi dilontarkan beliau secara gamblang dan hasilnya membawa angin baru bagi eksistensi Indonesia dimata dunia. Secara ringkas inilah sejumlah gebrakan yang telah ia buat :

1          1.      Menolak menyerahkan sampel virus flu burung H5N1 asal Indonesia
Ibu Siti menolak memberikan begitu saja sampel-sampel virus yang ditemukan di Indonesia untuk diteliti oleh laboratorium dunia. Di mata dokter ini perjalanan sebuah virus yang ditemukan di sebuah negara harus ada transparansi yang jelas mengenai alur pemrosesan sampel virus. Negara asal juga berhak tahu tentang hasil penelitian sampel virus tersebut.

2.      Menggugat ketidakadilan bisnis farmasi
Dia menggugat ketidakadilan dalam bisnis farmasi yaitu vaksin flu burung yang ditemukan oleh negara maju yang bahan bakunya (sampel virus) diberikan secara gratis oleh negara berkembang harus dibeli dengan harga mahal oleh negara kontributor.  Argumentasi yang sangat sederhana tetapi  sangat orisinal dan masuk akal. Tetapi seakan negara maju berusaha mempolitisasi dengan mengatakan Indonesia meminta imbalan uang atas kontribusinya di dunia kesehatan melalui sumbangan virus.  Indonesia secara implisit dituding mencoba mengkomersialkan dunia kesehatan dan farmasi. Tudingan yang seharusnya lebih tepat dialamatkan kepada negara-negara maju 

3.      Buku yang membuka konspirasi WHO dan AS
Ibu Siti Fadilah Supari menulis buku "Saatnya Dunia Berubah, Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung " pada tahun 2005. Saat sejumlah menteri lainnya sibuk menghadapi “tahun politik”, Siti Fadilah meluncurkan sebuah buku yang langsung mengguncang dunia kesehatan internasional. Ditulis dengan menggunakan gaya bahasa lugas, mengalir dan mudah dipahami,  tanpa sadar pembaca diajak turut serta untuk ikut langsung berpetualang mengungkap adanya mekanisme sharing virus yang tidak transparan dan tidak adil oleh WHO. Mekanisme sharing virus yang selama ini merupakan wilayah gelap bagi masyarakat, menjadi sangat transparan dengan terbitnya buku ini.

Sejak awal menjadi Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Ibu Siti telah berjuang membuat berbagai kebijakan yang berorientasi pada kepentingan rakyat khususnya rakyat miskin. Tentu saja perubahan orientasi kebijakan dan progam pro rakyat ini menggangu bahkan menghapus kepentingan bisnis kesehatan dan birokrasi pemerintahan yang korup yang selama ini menguasai dunia kesehatan baik di luar maupun di dalam negeri

Lewat karya- karyanya, Ibu Siti berusaha untuk menyentil kalangan pemimpin negara-negara maju, termasuk negara adidaya Amerika Serikat. Dokter lulusan UGM yang sudah menghasilkan 150 karya ilmiah ini mengajak bangsa-bangsa di dunia untuk lebih berani menghadapi pembodohan yang terus digenjarkan oleh negara-negara maju . Selama ini bangsa-bangsa di dunia seolah menyerah begitu saja pada perilaku negara-negara maju. Mereka tidak saja melakukan penindasan di bidang politik, militer, dan ekonomi, tetapi juga melalui forum kesehatan. Ilmu pengetahuan yang maju seharusnya bukan untuk menipu bangsa yang belum maju. Ilmu pengetahuan yang maju hendaknya untuk kesejahteraan umat manusia, bukan untuk menjajah umat manusia yang tidak berdaya.

Oleh: Dian Eka Ayu Pitaloka