Mengubah Paradigma Masyarakat “Antibiotik Adalah Obat Super”
Dewasa ini jika kita melihat konsumsi antibiotik di masyarakat
maka sepertinya hampir sama dengan konsumsi kacang goreng. Orang membeli kacang
goreng dengan bebas dan sangat mudah ketika mereka menginginkannya.Demikian
pula dengan antibiotik, masyarakat saat ini dengan bebasnya membeli antibiotik
di apotek meskiu tanpa resep dokter. Paradigma yang tumbuh dan berkembang saat
ini adalah sebagian besar masyarakat menganggap bahwa antibiotik merupakan obat
super atau obat sapu jagad,yang artinya segala macam penyakit akan
sembuh ketika diobati dengan antibiotik. Paradigma lain yakni masyarakat
seringkali beranggapan, jika berobat ke dokter dan tidak diberi
antibiotik, maka kurang ‘paten’ penyembuhannya, layaknya sayur yang dimasak
tanpa garam.
Mekipun pada beberapa kasus penggunaan antibiotik yang
ditemukan sampai saat ini memang terbilang ampuh untuk mengobati penyakit yang
disebabkan oleh infeksi(selama penggunaannya tepat), namun terkadang kita lupa
bahwa antibiotik hanyalah obat anti-infeksi yang hanya bisa bekerja pada
bakteri saja. Penyakit-penyakit
lain yang tidak diakibatkan oleh bakteri, seperti flu yang disebabkan oleh
virus, tidak dapat diobati dengan antibiotik.
Yang lebih mengkhawatirkan, dan bisa jadi membahayakan, penggunaan
antibiotik yang tidak tepat yang terjadi secara meluas yang tidak hanya di
Indonesia namun juga di berbagai tempat di dunia pada masa yang sama,
disinyalir telah menyebabkan meningkatnya resistensi antibiotik secara
global. Begitu besarnya penggunaan antibiotik yang tidak rasional
sampai-sampai pada hari kesehatan Internasional tahun 2011, WHO menetapkan tema
Antimicrobacterial Resistance and its Global Spread. Senada dengan WHO
Indonesia juga memilih tema yang hampir sama yaitu “Gunakan Antibiotik Secara
Tepat untuk Mencegah Kekebalan Kuman”.
Berbagai studi menemukan 40-62% antibiotik digunakan secara tidak
tepat, antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan
antibiotik. Di negara berkembang hanya 30-50% penderita pneumonia mendapat
terapi antibiotik secara tidak tepat. Menurut WHO, telah terjadi peningkatan 440.000 kasus baru akibat
multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) setiap tahun dan menyebabkan
sekurang-kurangnya 150.000 kasus kematian per tahun.
WHO memperkirakan, pada tahun 2009, Indonesia menduduki peringkat
ke-delapan dari 27 negara dengan beban MDR tinggi. Diperkirakan terdapat 12.209
pasien MDR-TB di seluruh Indonesia pada tahun 2007 dan akan ada sekitar 6.395
pasien MDR-TB baru setiap tahunnya. Data tersebut menggambarkan besarnya
masalah yang timbul akibat resistensi antimikroba pada pengendalian salah satu
penyakit menular di Indonesia, Pengendalian Penyakit Tuberkulosis.
Penelitian lain yang dilakukan oleh US National Ambulatory Medical
Care Survey, pada tahun 1989, setiap tahun sekitar 84% setiap tahun setiap anak
mendapatkan antibiotika. Hasil lainnya didapatkan 47,9% resep pada anak usia
0-4 tahun terdapat antibiotika. Angka tersebut menurut perhitungan banyak ahli
sebenarnya sudah cukup mencemaskan. Dalam tahun yang sama, juga ditemukan
resistensi kuman yang cukup tinggi karena pemakaian antibiotika berlebihan
tersebut.
Di Indonesia sendiri belum pernah dilakukan penelitian yang resmi
mengenai penggunaan antibiotik yang tidak rasional, sehingga masyarakat
cenderung tidak khawatir dan sepertinya tidak bermasalah. Tetapi
berdasarkan tingkat pendidikan atau pengetahuan masyarakat serta fakta yang
ditemui sehari-hari, tampaknya pemakaian antibiotika di Indonesia jauh banyak
dan lebih mencemaskan dan secara tidak langsung mencegah tubuh kita agar tidak
terinfeksi bakteri jahat.
Sebenarnya indikasi yang tepat dan benar dalam pemberian
antibiotika pada anak adalah bila penyebab infeksi tersebut adalah bakteri.
Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) indikasi pemberian
antibiotika adalah bila batuk dan pilek yang berkelanjutan selama lebih 10 – 14
hari.yang terjadi sepanjang hari (bukan hanya pada malam hari dan pagi hari).
Batuk malam dan pagi hari biasanya berkaitan dengan alergi atau bukan lagi
dalam fase infeksi dan tidak perlu antibiotika. Indikasi lain bila terdapat gejala infeksi sinusitis akut yang
berat seperti panas > 39oC dengan cairan hidung purulen, nyeri,
pembengkakan sekitar mata dan wajah. Pilihan pertama pengobatan antibiotika
untuk kasus ini cukup dengan pemberian Amoxicillin, Amoxicillinm atau
Clavulanate. Bila dalam 2 – 3 hari membaik pengobatan dapat dilanjutkan selama
7 hari setelah keluhan membaik atau biasanya selama 10 – 14 hari.
Indikasi lainnya adalah radang tenggorokan karena infeksi kuman
streptokokus. Penyakit ini pada umumnya menyerang anak berusia 7 tahun atau
lebih. Pada anak usia 4 tahun hanya 15% yang mengalami radang tenggorokan
karena kuman ini. Penyakit yang lain yang harus mendapatkan antibiotika adalah
infeksi saluran kemih dan penyakit tifus Untuk mengetahui apakah ada infeksi
bakteri biasanya dengan melakukan kultur darah atau urine. Apabila dicurigai
adanya infeksi saluran kemih, dilakukan pemeriksaan kultur urine. Setelah
beberapa hari akan diketahui bila ada infeksi bakteri berikut jenis dan
sensitivitas terhadap antibiotika. Untuk mengetahui penyakit tifus harus
dilakukan pemeriksaan darah Widal dan kultur darah gal. Anak usia di bawah 5
tahun yang mengalami infeksi virus sering mengalami overdiagnosis penyakit
Tifus. Sering terjadi kesalahan persepsi dalam pembacaan hasil laboratorium
karena spesifitas tes Widal tidak terlalu baik.
Sebagian besar masyarakat tidak mengetahui bahwa kasus penyakit
pada anak yang berobat jalan penyebabnya adalah virus. Dengan kata lain
seharusnya kemungkinan penggunaan antibiotika yang benar tidak besar atau
mungkin hanya sekitar 10 – 15% penderita anak. Penyakit virus adalah penyakit
yang termasuk “self limiting disease” atau penyakit yang sembuh sendiri dalam
waktu 5 – 7 hari. Sebagian besar penyakit infeksi diare, batuk, pilek dan panas
penyebabnya adalah virus. Secara umum setiap anak akan mengalami 2 hingga 9
kali penyakit saluran napas karena virus.
Sebuah penelitian terhadap gejala pada 139 penderita pilek(flu)
karena virus didapatkan bahwa pemberian antibiotik pada kelompok kontrol tidak
memperbaiki cairan mucopurulent dari hidung. Antibiotika tidak efektif
mengobati Infeksi saluran napas Atas dan tidak mencegah infeksi bakteri
tumpangan. Sebagian besar infeksi Saluran napas Atas termasuk sinus paranasalis
sangat jarang sekali terjadi komplikasi bakteri. Sebenarnya sangat perlu adanya pemahaman bagi para dokter utamnya
dan masyarakat pada umumnya bahwa pilek, panas dan batuk adalah gejala dari Infeksi
Saluran Pernapasan Atas yang disebabkan virus. Perubahan warna dahak dan ingus
berubah menjadi kental kuning, berlendir dan kehijauan adalah merupakan
perjalanan klinis Infeksi Saluran Napas Atas karena virus, bukan merupaklan
indikasi antibiotika.
Pemahaman bagi masyarakat umum dapat dilakukan melalului
kader-kader posyandu yang ada di pedesaan. Mungkin hal ini terasa amat sepele,
numun akan mendatangkan manfaat yang mat besar. Apabila para orang tua dibekali
dengan pengetahuan tersebut maka ketika anak mereka sakit merekatidak perlu
membawa ke dokter dan pada nantinya akan diberi obat yang mengandung antibiotik
namun cukup ditunjang dengan makan makanan yang bergizi. Untuk meyakinkan
masyarakat bila perlu kampanye tersebut mendatangkan dokter sehingga masyarakat
akan lebih percaya karena informasi tersebut mereka dapat dari pihak yang
berkompeten.
Ironisnya dampak dari penggunaan antibiotik yang tidak rasional
kini mulai bermunculan. Beberapa ahli kesehatan di penjuru dunia mulai
menemukan sebuah bakteri superbug atau bakteri yang kebal terhadap antibiotika.
Berbeda dengan berbagai temuan berbagai virus baru ganas seperti flu burung,
SARS atau flu babi yang dapat sembuh sendiri tanpa diobati. Bakteri ganas ini
bila menjangkiti seseorang, maka orang tersebut akan terancam nyawanya tanpa
ada obat atau antibiotika yang melawannya.
Bakteri “super” atau superbug yang disebut NDM-1 (New Delhi
Metallo-beta-laktamase-1) ini telah muncul di India, Pakistan, Inggris, Amerika
dan berbagai belahan dunia lainnya. Bakteri ini juga telah menyebar di rumah
sakit di Inggris, para ahli kesehatan dunia memperingatkan bakteri “super” ini
bisa menjadi masalah besar di seluruh dunia. Para ahli di Amerika di CDC memperkirakan bahwa hampir 100.000
orang meninggal akibat bakteri superbug di seluruh rumah sakit setiap tahun.
Hampir 1.700.000 pasien di rumah sakit terjangkit infeksi yang tidak ada
obatnya ini. Pada tahun 2007, sembilan atlet dari Iona College di New York
terkena Methicillin-resistant Staphylococcus aureus atau MRSA, infeksi yang
masuk dalam keluarga stafilokokus ini ternyata sudah termasuk dalam bakteri
superbugs.
New Delhi Metallo-beta-laktamase, atau NDM-1 adalah sebuah enzim
yang jika ditemukan dalam bakteri umum seperti E. coli, Salmonella dan K.
pneumonia dapat menjadi sangat berbahaya. Bakteri ini adalah yang paling
resisten terhadap antibiotik. NDM-1 ini merupakan ancaman, sangat serius bagi
umat manusia di dunia. Keadaan ini secara pasti akan mengancam nyawa jutaan
umat manusia bila tidak ditemukan antibiotika untuk menangkalnya. Sebuah jalan
terakhir dan juga harapan terakhir untuk mengatasinya ada pada antibiotik,
carbapenem. Sayangnya hingga saat ini bakteri superbug NDM-1 ini benar-benar
resisten terhadap antibiotik secanggih carbapenem.
Apabila konsumsi akan antibiotik yang tidak rasional terus
meningkat maka perlu adanya tindakan dari pemerintah misalnya dengan adanya
peraturan khusus penjualan antibiotik layaknya pada obat golongan narkotika da
psikotropika. misalnya perlu adanya laporan khusus kepada lembaga yang
berwenang dalam hal ini adalah Dinas Kesehatan, dan peresespan antibiotik
diberi tanda khusus seperti garis bawah berwarna hijau.
Perlu adanya usaha untuk memfokuskan diri utamanya bagi negara
berkembang dalam rangka menghapus akses tidak terkontrol terhadap antibiotik.
Seperti tindakan pencegahan yang sangat sederhana dan mudah dilakukan misalnya
memerbaiki sanitasi, begitu juga tindakan sering mencuci tangan, dapat
memastikan bahwa orang akan lebih jarang sakit, dan karena itu hanya akan menularkan
lebih sedikit infeksi yang resisten pada orang lain.
Sedangkan untuk negara-negara industri perlu memfokuskan diri pada
tindakan-tindakan pencegahan seperti sering mencuci tangan dan membatasi
penggunaan antibakteri, membangun lebih banyak vaksin yang dapat mencegah
populasi tertentu yang rentan terhadap penyakit seperti anak-anak,
mengendalikan bakteri multi-resisten di dalam rumah sakit dan komunitas
tertentu, dan mengurangi penggunaan antibiotik pada peternakan hewan dan
agrikultura.
Perlu adanya usaha bersama untuk mengubah paradigma masyakat yang
selama ini tubuh dan berkembang yakni “antbiotik adalah obat super”. Untuk
mensukseskan usaha tersebut perlu adanya dukungan dari semua pihak baik dari
pemerintah yang dalam hal ini dapat mengadakan suatu program penyuluhan kepada
masyarakat umum dan pembinaan khusus untuk para tenaga medis yang ada sehingga
dokter tidak sembarangan meresepkan antibiotik kepada pasiennya, dan para
apoteker tidak dengan mudahnya melayani pembelian obat golongan antibiotik
tanpa adanya resep. Bahkan jika perlu maka pembelian antibiotk diatur secara
khusus layaknya obat narkotika dan psikotropika misalnya perlu adanya laporan
khusus kepada lembaga yang berwenang dalam hal ini adalah Dinas Kesehatan, dan
peresespan antibiotik diberi tanda khusus seperti garis bawah berwarna hijau.
Diharapkan dengan adanya hal tersebut maka pembelian atau konsumsi antibiotik
dapat digunakan dengan semestinya. Yang paling utama perlu adanya kesadaran
dari masyarakat sendiri untuk mengubah paradigma tersebut mengingat sudah
banyak kasus-kasus yang tidak diinginkan sehubungan dengan penggunaan
antibiotik yang tidak lagi rasional.
Oleh: Prisma Wahyuning Inayah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar