INDONESIA
MENGGUGAT
(Perjuangan Siti Fadilah Supari dalam Mendobrak
Ketidakadilan WHO dan Negara Maju dalam
Penanganan Kasus Flu Burung)
Seorang remaja laki-laki asal Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat,
dipastikan meninggal akibat flu burung. Remaja berinisial D itu awalnya
mengalami demam pada tanggal 28 Februari 2012, tetapi baru berobat ke puskesmas
pada tanggal 1 Maret. Ia akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Mataram, namun kondisinya terus memburuk sampai akhirnya meninggal
pada tanggal 9 Maret 2012. Dengan adanya kematian D maka kasus positif flu
burung di Indonesia terus bertambah. Di tahun 2012 ini saja sudah terjadi setidaknya
enam kematian akibat flu burung (khabarsoutheastasia.com, 2012).
Kasus flu burung yang masih merebak pada awal tahun 2012 ini
mengingatkan Indonesia akan perjuangan
Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI 2004-2009. Ia secara berani menggugat
ketidakadilan sistem WHO dalam penanganan flu burung yang pada waktu itu
menghantui Indonesia. Di dalam bukunya yang berjudul “ Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di
Balik Virus Flu Burung” setebal 182 halaman itu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menguak konspirasi yang
melibatkan organisasi internasional sekelas
WHO dan negara-negara maju, terutama
dalam penanganan kasus flu burung yang mulai
menyerang manusia sekitar empat tahun silam.
Setelah virus flu burung menyebar dan menghantui dunia bahkan Indonesia,
permintaan akan obat tamiflu di dunia
semakin meningkat. Aroma kejanggalan
telah dirasakan oleh Ibu Siti saat diborongnya obat tamiflu (nama generik : Oseltamivir)
yang diproduksi di Roche (berpusat di Grenzach, Jerman) oleh negara-negara maju yang tidak memiliki
kasus flu burung. Pasalnya, negara-negara berkembang dan miskin yang tertimpa
flu burung justru tidak diprioritaskan dalam pengadaan obat tersebut. Akibatnya Indonesia pun tidak kebagian obat
tamiflu. Tetapi, Ibu Siti yang
juga dokter spesialis jantung ini tidak patah semangat. Ia mengumpulkan energi
dan menganggarkan dana untuk dapat obat Tamiflu dalam jumlah tertentu atas
anjuran WHO. Ia akhirnya terpaksa mencari jalan keluar mendapatkan Oseltamivir
dari India. Untungnya juga, Indonesia mendapat sumbangan dari Thailand dan
Australia. Tapi jumlahnya terbatas, karena stok di dua negera itu juga tipis.
Kejadian itu sempat meninggalkan
bekas luka mendalam di hati Ibu Siti. Ia kemudian berpikir seandainya nanti
ditemukan vaksin Flu Burung pada manusia, pasti negara maju dan kaya yang
meraup keuntungannya. Bagaimana tidak, sampel virus flu burung yang didapat
berasal negara-negara berkembang atau miskin yang notabene secara ilmu dan
finansial belum mampu untuk melakukan pengembangan sebuah vaksin. Setelah
vaksin berhasil dikembangkan dan dikomersialkan pun harganya juga hanya bisa ditentukan oleh
produsen vaksin yang hampir semuanya berada di negara industri yang kaya. Tentu
dengan harga yang sangat
mahal tanpa mempedulikan alasan sosial kecuali alasan ekonomi. Tak heran bila
90 persen perdagangan vaksin di dunia dikuasai hanya oleh 10 persen penduduk
dunia yang tersebar di negara-negara kaya.
Praktik kecurangan neokolonialisme (ketidakberdayaan suatu bangsa
menjadi sumber keuntungan bangsa yang lain) juga dirasa oleh Ibu Siti sedang
terjadi pada kubu WHO. Bagaimana tidak, aturan Global Influenza Surveilance
Network (GISN) bahwa semua spesimen Influenza termasuk flu burung wajib dikirim
ke WHO untuk riset para pakar yang nantinya apabila berhasil dikembangkan akan
dibuat suatu vaksin yang lagi-lagi akan sangat menguntungkan negara-negara maju.
Indonesia yang kala itu dipaksa WHO agar mengirimkan sampel virus flu burung
enggan untuk melakukan hal tersebut.
Pasalnya, Ibu Siti beranggapan bahwa tidak adanya keadilan, transparasi
data, dan kesetaraan dalam pola itu. Ia lantas berpraduga bukannya dimanfaatkan
untuk kesehatan seluruh dunia, virus itu malah disalahgunakan oleh negara kaya
untuk membuat komoditas dagang, antara lain dalam bentuk vaksin. Bahkan ada
kemungkinan dijadikan senjata biologis. Celakanya, negara miskin pasti
kesulitan mendapatkan vaksin tersebut karena sudah diborong negara lain yang
belum terkena virus tersebut untuk pencegahan. Ketika negara miskin makin
terpuruk gara-gara virus, negara kaya datang bak dewa penolong dengan
memberikan sumbangan yang tidak seberapa dibanding keuntungan mereka dari
berdagang vaksin.
Ibu Siti sangat marah.
Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu
telah dipermainkan atas dalih Global
Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan
telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari
110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus
itu menjadi milik mereka dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin. Dengan adanya sistem seperti ini, negara-negara
penderita flu burung seakan tak berdaya dihadapan WHO melalui GISN.
Kekecewaan Ibu Siti kepada WHO tidak
hanya sebatas itu. Ia juga membeberkan kasus klaster terbesar di dunia,
yakni di Tanah Karo, Sumatera Utara, dengan kematian tujuh dari delapan orang
bersaudara yang menderita Flu Burung. Para pakar dari WHO yang hampir semuanya
epidemiolog menyimpulkan bahwa klaster yang terjadi di Tanah Karo adalah suatu
kejadian penularan human to human transmission. Ibu Siti menilai
kesimpulan itu sungguh sangat sembrono. Pasalnya, belum ada laporan mengenai perubahan
bentuk dan fungsi dari DNA virus flu burung yang ditemukan di Tanah Karo,
namun berita yang dipaparkan di dalam negeri maupun di luar negeri sangat
arogan dan sadis. Bahkan, CNN dengan headline news menyiarkan berita
ke seluruh dunia bahwa pandemik flu burung yang ditakutkan umat manusia sedunia
sudah dimulai.
Ibu Siti lalu meminta bantuan pada
seorang ilmuwan molecular biologist yang cukup dikenal di dunia
yang juga merupakan pimpinan labotarium Eijkman yang berpusat di Jakarta. Ia
meminta agar labotarium Eijkman membuat sequencing DNA virus Flu
Burung dari Tanah Karo. Lembaga itu menyanggupi. Tetapi seakan hanya angin
lalu, hasil data sequencing DNA yang
diperoleh hanya ditanggapi cuek oleh masyarakat internasional dengan dalil
laboratorium tersebut belum diakui oleh WHO.
Dibuat gerah oleh sikap tersebut, Melalui
pertemuan AIPI, Ibu Siti meminta
transparansi hasil sequencing DNA
dipublikasikan dengan cara dikirim ke Gen Bank (Genetic Sequence Data Bank), yang dikelola National Institute of Health America, dengan alasan perkembangan
ilmu pengetahuan. Permintaan Ibu Siti disetujui dan tahun 2008 sejarah dunia
mencatat bahwa Indonesia mempelopori ketransparanan data sequencing DNA virus flu burung H5N1 yang sedang melanda dunia. Dari
data tersebut, para ilmuwan dunia akhirnya dapat mengakses DNA flu burung H5N1,
mulai dari sequencing DNA dan
translasinya serta data ini dipublikasikan ke seluruh dunia.
Atas dedikasinya itu, sejumlah
media luar negeri menulis Siti Fadilah Supari sebagai sang Maestro. Satu
diantaranya menuliskan bahwa Menteri Kesehatan Indonesia itu seperti tambang
emas yang kini muncul di bumi. Majalah The
Economist London menempatkan Ibu Siti sebagai tokoh pendobrak yang memulai
revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung. Dengarlah apa kata
majalah top dunia seperti The Economist
(6 Agustus 2006):
“For the sake of
basic human interest, the Indonesian government declares that genomic data on
bird flu viruses can be accessed by anyone. With those words, spoken on August
3rd (2006), Siti Fadilah Sapari started a revolution that could yet save the
world from the ravages of pandemic disease. That is because Indonesia’s health
minister has chosen a weapon that may prove more useful than todays best
vaccines in tackling such emerging threats as avian flu: transparency
Ibu Siti yang kala itu
menjadi Menteri Kesehatan Republik Indonesia bak sang hero bagi Indonesia dengan membuat tindakan dan pernyataan
mengejutkan yang cenderung berani. Gebrakan-gebrakan dengan idealisme tinggi
dilontarkan beliau secara gamblang dan hasilnya membawa angin baru bagi eksistensi
Indonesia dimata dunia. Secara ringkas inilah sejumlah gebrakan yang telah ia
buat :
1 1.
Menolak menyerahkan sampel virus flu burung H5N1 asal
Indonesia
Ibu Siti menolak memberikan begitu saja sampel-sampel virus
yang ditemukan di Indonesia untuk diteliti oleh laboratorium dunia. Di mata
dokter ini perjalanan sebuah virus yang ditemukan di sebuah negara harus ada
transparansi yang jelas mengenai alur pemrosesan sampel virus. Negara asal juga
berhak tahu tentang hasil penelitian sampel virus tersebut.
2.
Menggugat ketidakadilan bisnis farmasi
Dia menggugat ketidakadilan dalam bisnis farmasi yaitu vaksin
flu burung yang ditemukan oleh negara maju yang bahan bakunya (sampel virus) diberikan
secara gratis oleh negara berkembang harus dibeli dengan harga mahal oleh
negara kontributor. Argumentasi yang
sangat sederhana tetapi sangat orisinal
dan masuk akal. Tetapi seakan negara maju berusaha mempolitisasi dengan
mengatakan Indonesia meminta imbalan uang atas kontribusinya di dunia kesehatan
melalui sumbangan virus. Indonesia
secara implisit dituding mencoba mengkomersialkan dunia kesehatan dan farmasi.
Tudingan yang seharusnya lebih tepat dialamatkan kepada negara-negara maju
3.
Buku yang membuka konspirasi WHO dan AS
Ibu Siti Fadilah Supari menulis buku "Saatnya Dunia
Berubah, Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung " pada tahun 2005.
Saat sejumlah menteri lainnya sibuk menghadapi “tahun politik”, Siti Fadilah
meluncurkan sebuah buku yang langsung mengguncang dunia kesehatan
internasional. Ditulis dengan menggunakan gaya bahasa lugas, mengalir dan mudah
dipahami, tanpa sadar pembaca diajak
turut serta untuk ikut langsung berpetualang mengungkap adanya mekanisme sharing virus yang tidak transparan dan
tidak adil oleh WHO. Mekanisme sharing
virus yang selama ini merupakan wilayah gelap bagi masyarakat, menjadi
sangat transparan dengan terbitnya buku ini.
Sejak awal
menjadi Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Ibu Siti telah
berjuang membuat berbagai
kebijakan yang berorientasi pada kepentingan rakyat khususnya rakyat miskin. Tentu saja perubahan
orientasi kebijakan dan progam pro rakyat ini menggangu bahkan menghapus
kepentingan bisnis kesehatan dan birokrasi pemerintahan yang korup yang selama ini menguasai dunia
kesehatan baik di luar maupun di dalam negeri
Lewat karya- karyanya, Ibu
Siti berusaha untuk menyentil kalangan pemimpin negara-negara maju, termasuk
negara adidaya Amerika Serikat. Dokter lulusan UGM yang sudah menghasilkan 150
karya ilmiah ini mengajak bangsa-bangsa di dunia untuk lebih berani menghadapi
pembodohan yang terus digenjarkan oleh negara-negara maju . Selama ini
bangsa-bangsa di dunia seolah menyerah begitu saja pada perilaku negara-negara
maju. Mereka tidak saja melakukan penindasan di bidang politik, militer, dan
ekonomi, tetapi juga melalui forum kesehatan. Ilmu pengetahuan yang maju seharusnya
bukan untuk menipu bangsa yang belum maju. Ilmu pengetahuan yang maju hendaknya
untuk kesejahteraan umat manusia, bukan untuk menjajah umat manusia yang tidak
berdaya.
Oleh: Dian Eka Ayu Pitaloka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar