Selasa, 01 Mei 2012

Antibiotik Adalah Obat Super?

Mengubah Paradigma Masyarakat “Antibiotik Adalah Obat Super”


Dewasa ini jika kita melihat konsumsi antibiotik di masyarakat maka sepertinya hampir sama dengan konsumsi kacang goreng. Orang membeli kacang goreng dengan bebas dan sangat mudah ketika mereka menginginkannya.Demikian pula dengan antibiotik, masyarakat saat ini dengan bebasnya membeli antibiotik di apotek meskiu tanpa resep dokter. Paradigma yang tumbuh dan berkembang saat ini adalah sebagian besar masyarakat menganggap bahwa antibiotik merupakan obat super atau obat sapu jagad,yang artinya segala macam penyakit akan sembuh ketika diobati dengan antibiotik. Paradigma lain yakni masyarakat seringkali beranggapan, jika berobat ke dokter dan tidak diberi antibiotik, maka kurang ‘paten’ penyembuhannya, layaknya sayur yang dimasak tanpa garam.


Mekipun pada beberapa kasus penggunaan antibiotik yang ditemukan sampai saat ini memang terbilang ampuh untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh infeksi(selama penggunaannya tepat), namun terkadang kita lupa bahwa antibiotik hanyalah obat anti-infeksi yang hanya bisa bekerja pada bakteri saja. Penyakit-penyakit lain yang tidak diakibatkan oleh bakteri, seperti flu yang disebabkan oleh virus, tidak dapat diobati dengan antibiotik.


Yang lebih mengkhawatirkan, dan bisa jadi membahayakan, penggunaan antibiotik yang tidak tepat yang terjadi secara meluas yang tidak hanya di Indonesia namun juga di berbagai tempat di dunia pada masa yang sama, disinyalir telah menyebabkan meningkatnya resistensi antibiotik secara global. Begitu besarnya penggunaan antibiotik yang tidak rasional sampai-sampai pada hari kesehatan Internasional tahun 2011, WHO menetapkan tema Antimicrobacterial Resistance and its Global Spread. Senada dengan WHO Indonesia juga memilih tema yang hampir sama yaitu “Gunakan Antibiotik Secara Tepat untuk Mencegah Kekebalan Kuman”.


Berbagai studi menemukan 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat, antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Di negara berkembang hanya 30-50% penderita pneumonia mendapat terapi antibiotik secara tidak tepat. Menurut WHO, telah terjadi peningkatan 440.000 kasus baru akibat multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) setiap tahun dan menyebabkan sekurang-kurangnya 150.000 kasus kematian per tahun.


WHO memperkirakan, pada tahun 2009, Indonesia menduduki peringkat ke-delapan dari 27 negara dengan beban MDR tinggi. Diperkirakan terdapat 12.209 pasien MDR-TB di seluruh Indonesia pada tahun 2007 dan akan ada sekitar 6.395 pasien MDR-TB baru setiap tahunnya. Data tersebut menggambarkan besarnya masalah yang timbul akibat resistensi antimikroba pada pengendalian salah satu penyakit menular di Indonesia, Pengendalian Penyakit Tuberkulosis.


Penelitian lain yang dilakukan oleh US National Ambulatory Medical Care Survey, pada tahun 1989, setiap tahun sekitar 84% setiap tahun setiap anak mendapatkan antibiotika. Hasil lainnya didapatkan 47,9% resep pada anak usia 0-4 tahun terdapat antibiotika. Angka tersebut menurut perhitungan banyak ahli sebenarnya sudah cukup mencemaskan. Dalam tahun yang sama, juga ditemukan resistensi kuman yang cukup tinggi karena pemakaian antibiotika berlebihan tersebut.


Di Indonesia sendiri belum pernah dilakukan penelitian yang resmi mengenai penggunaan antibiotik yang tidak rasional, sehingga masyarakat cenderung tidak khawatir dan sepertinya tidak bermasalah. Tetapi berdasarkan tingkat pendidikan atau pengetahuan masyarakat serta fakta yang ditemui sehari-hari, tampaknya pemakaian antibiotika di Indonesia jauh banyak dan lebih mencemaskan dan secara tidak langsung mencegah tubuh kita agar tidak terinfeksi bakteri jahat.


Sebenarnya indikasi yang tepat dan benar dalam pemberian antibiotika pada anak adalah bila penyebab infeksi tersebut adalah bakteri. Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) indikasi pemberian antibiotika adalah bila batuk dan pilek yang berkelanjutan selama lebih 10 – 14 hari.yang terjadi sepanjang hari (bukan hanya pada malam hari dan pagi hari). Batuk malam dan pagi hari biasanya berkaitan dengan alergi atau bukan lagi dalam fase infeksi dan tidak perlu antibiotika. Indikasi lain bila terdapat gejala infeksi sinusitis akut yang berat seperti panas > 39oC dengan cairan hidung purulen, nyeri, pembengkakan sekitar mata dan wajah. Pilihan pertama pengobatan antibiotika untuk kasus ini cukup dengan pemberian Amoxicillin, Amoxicillinm atau Clavulanate. Bila dalam 2 – 3 hari membaik pengobatan dapat dilanjutkan selama 7 hari setelah keluhan membaik atau biasanya selama 10 – 14 hari.


Indikasi lainnya adalah radang tenggorokan karena infeksi kuman streptokokus. Penyakit ini pada umumnya menyerang anak berusia 7 tahun atau lebih. Pada anak usia 4 tahun hanya 15% yang mengalami radang tenggorokan karena kuman ini. Penyakit yang lain yang harus mendapatkan antibiotika adalah infeksi saluran kemih dan penyakit tifus Untuk mengetahui apakah ada infeksi bakteri biasanya dengan melakukan kultur darah atau urine. Apabila dicurigai adanya infeksi saluran kemih, dilakukan pemeriksaan kultur urine. Setelah beberapa hari akan diketahui bila ada infeksi bakteri berikut jenis dan sensitivitas terhadap antibiotika. Untuk mengetahui penyakit tifus harus dilakukan pemeriksaan darah Widal dan kultur darah gal. Anak usia di bawah 5 tahun yang mengalami infeksi virus sering mengalami overdiagnosis penyakit Tifus. Sering terjadi kesalahan persepsi dalam pembacaan hasil laboratorium karena spesifitas tes Widal tidak terlalu baik.


Sebagian besar masyarakat tidak mengetahui bahwa kasus penyakit pada anak yang berobat jalan penyebabnya adalah virus. Dengan kata lain seharusnya kemungkinan penggunaan antibiotika yang benar tidak besar atau mungkin hanya sekitar 10 – 15% penderita anak. Penyakit virus adalah penyakit yang termasuk “self limiting disease” atau penyakit yang sembuh sendiri dalam waktu 5 – 7 hari. Sebagian besar penyakit infeksi diare, batuk, pilek dan panas penyebabnya adalah virus. Secara umum setiap anak akan mengalami 2 hingga 9 kali penyakit saluran napas karena virus.


Sebuah penelitian terhadap gejala pada 139 penderita pilek(flu) karena virus didapatkan bahwa pemberian antibiotik pada kelompok kontrol tidak memperbaiki cairan mucopurulent dari hidung. Antibiotika tidak efektif mengobati Infeksi saluran napas Atas dan tidak mencegah infeksi bakteri tumpangan. Sebagian besar infeksi Saluran napas Atas termasuk sinus paranasalis sangat jarang sekali terjadi komplikasi bakteri. Sebenarnya sangat perlu adanya pemahaman bagi para dokter utamnya dan masyarakat pada umumnya bahwa pilek, panas dan batuk adalah gejala dari Infeksi Saluran Pernapasan Atas yang disebabkan virus. Perubahan warna dahak dan ingus berubah menjadi kental kuning, berlendir dan kehijauan adalah merupakan perjalanan klinis Infeksi Saluran Napas Atas karena virus, bukan merupaklan indikasi antibiotika.


Pemahaman bagi masyarakat umum dapat dilakukan melalului kader-kader posyandu yang ada di pedesaan. Mungkin hal ini terasa amat sepele, numun akan mendatangkan manfaat yang mat besar. Apabila para orang tua dibekali dengan pengetahuan tersebut maka ketika anak mereka sakit merekatidak perlu membawa ke dokter dan pada nantinya akan diberi obat yang mengandung antibiotik namun cukup ditunjang dengan makan makanan yang bergizi. Untuk meyakinkan masyarakat bila perlu kampanye tersebut mendatangkan dokter sehingga masyarakat akan lebih percaya karena informasi tersebut mereka dapat dari pihak yang berkompeten.


Ironisnya dampak dari penggunaan antibiotik yang tidak rasional kini mulai bermunculan. Beberapa ahli kesehatan di penjuru dunia mulai menemukan sebuah bakteri superbug atau bakteri yang kebal terhadap antibiotika. Berbeda dengan berbagai temuan berbagai virus baru ganas seperti flu burung, SARS atau flu babi yang dapat sembuh sendiri tanpa diobati. Bakteri ganas ini bila menjangkiti seseorang, maka orang tersebut akan terancam nyawanya tanpa ada obat atau antibiotika yang melawannya.


Bakteri “super” atau superbug yang disebut NDM-1 (New Delhi Metallo-beta-laktamase-1) ini telah muncul di India, Pakistan, Inggris, Amerika dan berbagai belahan dunia lainnya. Bakteri ini juga telah menyebar di rumah sakit di Inggris, para ahli kesehatan dunia memperingatkan bakteri “super” ini bisa menjadi masalah besar di seluruh dunia. Para ahli di Amerika di CDC memperkirakan bahwa hampir 100.000 orang meninggal akibat bakteri superbug di seluruh rumah sakit setiap tahun. Hampir 1.700.000 pasien di rumah sakit terjangkit infeksi yang tidak ada obatnya ini. Pada tahun 2007, sembilan atlet dari Iona College di New York terkena Methicillin-resistant Staphylococcus aureus atau MRSA, infeksi yang masuk dalam keluarga stafilokokus ini ternyata sudah termasuk dalam bakteri superbugs.


New Delhi Metallo-beta-laktamase, atau NDM-1 adalah sebuah enzim yang jika ditemukan dalam bakteri umum seperti E. coli, Salmonella dan K. pneumonia dapat menjadi sangat berbahaya. Bakteri ini adalah yang paling resisten terhadap antibiotik. NDM-1 ini merupakan ancaman, sangat serius bagi umat manusia di dunia. Keadaan ini secara pasti akan mengancam nyawa jutaan umat manusia bila tidak ditemukan antibiotika untuk menangkalnya. Sebuah jalan terakhir dan juga harapan terakhir untuk mengatasinya ada pada antibiotik, carbapenem. Sayangnya hingga saat ini bakteri superbug NDM-1 ini benar-benar resisten terhadap antibiotik secanggih carbapenem.


Apabila konsumsi akan antibiotik yang tidak rasional terus meningkat maka perlu adanya tindakan dari pemerintah misalnya dengan adanya peraturan khusus penjualan antibiotik layaknya pada obat golongan narkotika da psikotropika. misalnya perlu adanya laporan khusus kepada lembaga yang berwenang dalam hal ini adalah Dinas Kesehatan, dan peresespan antibiotik diberi tanda khusus seperti garis bawah berwarna hijau.


Perlu adanya usaha untuk memfokuskan diri utamanya bagi negara berkembang dalam rangka menghapus akses tidak terkontrol terhadap antibiotik. Seperti tindakan pencegahan yang sangat sederhana dan mudah dilakukan misalnya memerbaiki sanitasi, begitu juga tindakan sering mencuci tangan, dapat memastikan bahwa orang akan lebih jarang sakit, dan karena itu hanya akan menularkan lebih sedikit infeksi yang resisten pada orang lain.


Sedangkan untuk negara-negara industri perlu memfokuskan diri pada tindakan-tindakan pencegahan seperti sering mencuci tangan dan membatasi penggunaan antibakteri, membangun lebih banyak vaksin yang dapat mencegah populasi tertentu yang rentan terhadap penyakit seperti anak-anak, mengendalikan bakteri multi-resisten di dalam rumah sakit dan komunitas tertentu, dan mengurangi penggunaan antibiotik pada peternakan hewan dan agrikultura.


Perlu adanya usaha bersama untuk mengubah paradigma masyakat yang selama ini tubuh dan berkembang yakni “antbiotik adalah obat super”. Untuk mensukseskan usaha tersebut perlu adanya dukungan dari semua pihak baik dari pemerintah yang dalam hal ini dapat mengadakan suatu program penyuluhan kepada masyarakat umum dan pembinaan khusus untuk para tenaga medis yang ada sehingga dokter tidak sembarangan meresepkan antibiotik kepada pasiennya, dan para apoteker tidak dengan mudahnya melayani pembelian obat golongan antibiotik tanpa adanya resep. Bahkan jika perlu maka pembelian antibiotk diatur secara khusus layaknya obat narkotika dan psikotropika misalnya perlu adanya laporan khusus kepada lembaga yang berwenang dalam hal ini adalah Dinas Kesehatan, dan peresespan antibiotik diberi tanda khusus seperti garis bawah berwarna hijau. Diharapkan dengan adanya hal tersebut maka pembelian atau konsumsi antibiotik dapat digunakan dengan semestinya. Yang paling utama perlu adanya kesadaran dari masyarakat sendiri untuk mengubah paradigma tersebut mengingat sudah banyak kasus-kasus yang tidak diinginkan sehubungan dengan penggunaan antibiotik yang tidak lagi rasional.


Oleh: Prisma Wahyuning Inayah






Tidak ada komentar:

Posting Komentar