Selasa, 01 Mei 2012

Indonesia Menggugat!


INDONESIA MENGGUGAT
 (Perjuangan Siti Fadilah Supari dalam Mendobrak Ketidakadilan  WHO dan Negara Maju dalam Penanganan Kasus Flu Burung)


Seorang remaja laki-laki asal Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, dipastikan meninggal akibat flu burung. Remaja berinisial D itu awalnya mengalami demam pada tanggal 28 Februari 2012, tetapi baru berobat ke puskesmas pada tanggal 1 Maret.  Ia akhirnya  dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mataram, namun kondisinya terus  memburuk sampai akhirnya meninggal pada tanggal 9 Maret 2012. Dengan adanya kematian D maka kasus positif flu burung di Indonesia terus bertambah. Di tahun 2012 ini saja sudah terjadi setidaknya enam kematian akibat flu burung (khabarsoutheastasia.com, 2012).

Kasus flu burung yang masih merebak pada awal tahun 2012 ini mengingatkan Indonesia  akan perjuangan Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI 2004-2009. Ia secara berani menggugat ketidakadilan sistem WHO dalam penanganan flu burung yang pada waktu itu menghantui Indonesia. Di dalam bukunya yang berjudul “ Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung” setebal 182 halaman itu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menguak konspirasi yang melibatkan organisasi internasional sekelas WHO dan negara-negara maju, terutama dalam penanganan kasus flu burung yang mulai menyerang manusia sekitar empat tahun silam.

Setelah virus flu burung menyebar dan menghantui dunia bahkan Indonesia,  permintaan akan obat tamiflu di dunia semakin meningkat.  Aroma kejanggalan telah dirasakan oleh Ibu Siti saat diborongnya obat tamiflu (nama generik : Oseltamivir) yang diproduksi di Roche (berpusat di Grenzach, Jerman) oleh negara-negara maju yang tidak memiliki kasus flu burung. Pasalnya, negara-negara berkembang dan miskin yang tertimpa flu burung justru tidak diprioritaskan dalam pengadaan obat tersebut.  Akibatnya Indonesia pun tidak kebagian obat tamiflu. Tetapi,  Ibu Siti yang juga dokter spesialis jantung ini tidak patah semangat. Ia mengumpulkan energi dan menganggarkan dana untuk dapat obat Tamiflu dalam jumlah tertentu atas anjuran WHO. Ia akhirnya terpaksa mencari jalan keluar mendapatkan Oseltamivir dari India. Untungnya juga, Indonesia mendapat sumbangan dari Thailand dan Australia. Tapi jumlahnya terbatas, karena stok di dua negera itu juga tipis.

Kejadian itu sempat meninggalkan bekas luka mendalam di hati Ibu Siti. Ia kemudian berpikir seandainya nanti ditemukan vaksin Flu Burung pada manusia, pasti negara maju dan kaya yang meraup keuntungannya. Bagaimana tidak, sampel virus flu burung yang didapat berasal negara-negara berkembang atau miskin yang notabene secara ilmu dan finansial belum mampu untuk melakukan pengembangan sebuah vaksin. Setelah vaksin berhasil dikembangkan dan dikomersialkan pun  harganya juga hanya bisa ditentukan oleh produsen vaksin yang hampir semuanya berada di negara industri yang kaya. Tentu  dengan  harga  yang sangat mahal tanpa mempedulikan alasan sosial kecuali alasan ekonomi. Tak heran bila 90 persen perdagangan vaksin di dunia dikuasai hanya oleh 10 persen penduduk dunia yang tersebar di negara-negara kaya.

Praktik kecurangan neokolonialisme (ketidakberdayaan suatu bangsa menjadi sumber keuntungan bangsa yang lain) juga dirasa oleh Ibu Siti sedang terjadi pada kubu WHO. Bagaimana tidak,  aturan Global Influenza Surveilance Network (GISN) bahwa semua spesimen Influenza termasuk flu burung wajib dikirim ke WHO untuk riset para pakar yang nantinya apabila berhasil dikembangkan akan dibuat suatu vaksin yang lagi-lagi akan sangat menguntungkan negara-negara maju. Indonesia yang kala itu dipaksa WHO agar mengirimkan sampel virus flu burung enggan untuk melakukan hal tersebut.  Pasalnya, Ibu Siti beranggapan bahwa tidak adanya keadilan, transparasi data, dan kesetaraan dalam pola itu. Ia lantas berpraduga bukannya dimanfaatkan untuk kesehatan seluruh dunia, virus itu malah disalahgunakan oleh negara kaya untuk membuat komoditas dagang, antara lain dalam bentuk vaksin. Bahkan ada kemungkinan dijadikan senjata biologis. Celakanya, negara miskin pasti kesulitan mendapatkan vaksin tersebut karena sudah diborong negara lain yang belum terkena virus tersebut untuk pencegahan. Ketika negara miskin makin terpuruk gara-gara virus, negara kaya datang bak dewa penolong dengan memberikan sumbangan yang tidak seberapa dibanding keuntungan mereka dari berdagang vaksin.

Ibu Siti sangat marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu menjadi milik mereka dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin.  Dengan adanya sistem seperti ini, negara-negara penderita flu burung seakan tak berdaya dihadapan WHO melalui GISN.

Kekecewaan Ibu Siti kepada WHO tidak hanya sebatas itu. Ia juga membeberkan kasus klaster terbesar di dunia,  yakni di Tanah Karo, Sumatera Utara, dengan kematian tujuh dari delapan orang bersaudara yang menderita Flu Burung. Para pakar dari WHO yang hampir semuanya  epidemiolog menyimpulkan bahwa klaster yang terjadi di Tanah Karo adalah suatu kejadian penularan human to human transmission. Ibu Siti menilai kesimpulan itu sungguh sangat sembrono. Pasalnya, belum ada laporan mengenai perubahan bentuk dan fungsi dari DNA virus flu burung yang ditemukan di Tanah Karo, namun berita yang dipaparkan di dalam negeri maupun di luar negeri sangat arogan dan sadis. Bahkan, CNN dengan headline news menyiarkan berita ke seluruh dunia bahwa pandemik flu burung yang ditakutkan umat manusia sedunia sudah dimulai.

Ibu Siti lalu meminta bantuan pada seorang ilmuwan molecular biologist yang cukup dikenal di dunia yang juga merupakan pimpinan labotarium Eijkman yang berpusat di Jakarta. Ia meminta agar labotarium Eijkman membuat sequencing DNA virus Flu Burung dari Tanah Karo. Lembaga itu menyanggupi. Tetapi seakan hanya angin lalu, hasil data sequencing DNA yang diperoleh hanya ditanggapi cuek oleh masyarakat internasional dengan dalil laboratorium tersebut belum diakui oleh WHO.

Dibuat gerah oleh sikap tersebut, Melalui pertemuan AIPI,  Ibu Siti meminta transparansi hasil sequencing DNA dipublikasikan dengan cara dikirim ke Gen Bank (Genetic Sequence Data Bank), yang dikelola National Institute of Health America, dengan alasan perkembangan ilmu pengetahuan. Permintaan Ibu Siti disetujui dan tahun 2008 sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia mempelopori ketransparanan data sequencing DNA virus flu burung H5N1 yang sedang melanda dunia. Dari data tersebut, para ilmuwan dunia akhirnya dapat mengakses DNA flu burung H5N1, mulai dari sequencing DNA dan translasinya serta data ini dipublikasikan ke seluruh dunia.

Atas dedikasinya itu, sejumlah media luar negeri menulis Siti Fadilah Supari sebagai sang Maestro. Satu diantaranya menuliskan bahwa Menteri Kesehatan Indonesia itu seperti tambang emas yang kini muncul di bumi. Majalah The Economist London menempatkan Ibu Siti sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung. Dengarlah apa kata majalah top dunia seperti The Economist (6 Agustus 2006):
For the sake of basic human interest, the Indonesian government declares that genomic data on bird flu viruses can be accessed by anyone. With those words, spoken on August 3rd (2006), Siti Fadilah Sapari started a revolution that could yet save the world from the ravages of pandemic disease. That is because Indonesia’s health minister has chosen a weapon that may prove more useful than todays best vaccines in tackling such emerging threats as avian flu: transparency

Ibu Siti yang kala itu menjadi Menteri Kesehatan Republik Indonesia bak sang hero bagi Indonesia dengan membuat tindakan dan pernyataan mengejutkan yang cenderung berani. Gebrakan-gebrakan dengan idealisme tinggi dilontarkan beliau secara gamblang dan hasilnya membawa angin baru bagi eksistensi Indonesia dimata dunia. Secara ringkas inilah sejumlah gebrakan yang telah ia buat :

1          1.      Menolak menyerahkan sampel virus flu burung H5N1 asal Indonesia
Ibu Siti menolak memberikan begitu saja sampel-sampel virus yang ditemukan di Indonesia untuk diteliti oleh laboratorium dunia. Di mata dokter ini perjalanan sebuah virus yang ditemukan di sebuah negara harus ada transparansi yang jelas mengenai alur pemrosesan sampel virus. Negara asal juga berhak tahu tentang hasil penelitian sampel virus tersebut.

2.      Menggugat ketidakadilan bisnis farmasi
Dia menggugat ketidakadilan dalam bisnis farmasi yaitu vaksin flu burung yang ditemukan oleh negara maju yang bahan bakunya (sampel virus) diberikan secara gratis oleh negara berkembang harus dibeli dengan harga mahal oleh negara kontributor.  Argumentasi yang sangat sederhana tetapi  sangat orisinal dan masuk akal. Tetapi seakan negara maju berusaha mempolitisasi dengan mengatakan Indonesia meminta imbalan uang atas kontribusinya di dunia kesehatan melalui sumbangan virus.  Indonesia secara implisit dituding mencoba mengkomersialkan dunia kesehatan dan farmasi. Tudingan yang seharusnya lebih tepat dialamatkan kepada negara-negara maju 

3.      Buku yang membuka konspirasi WHO dan AS
Ibu Siti Fadilah Supari menulis buku "Saatnya Dunia Berubah, Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung " pada tahun 2005. Saat sejumlah menteri lainnya sibuk menghadapi “tahun politik”, Siti Fadilah meluncurkan sebuah buku yang langsung mengguncang dunia kesehatan internasional. Ditulis dengan menggunakan gaya bahasa lugas, mengalir dan mudah dipahami,  tanpa sadar pembaca diajak turut serta untuk ikut langsung berpetualang mengungkap adanya mekanisme sharing virus yang tidak transparan dan tidak adil oleh WHO. Mekanisme sharing virus yang selama ini merupakan wilayah gelap bagi masyarakat, menjadi sangat transparan dengan terbitnya buku ini.

Sejak awal menjadi Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Ibu Siti telah berjuang membuat berbagai kebijakan yang berorientasi pada kepentingan rakyat khususnya rakyat miskin. Tentu saja perubahan orientasi kebijakan dan progam pro rakyat ini menggangu bahkan menghapus kepentingan bisnis kesehatan dan birokrasi pemerintahan yang korup yang selama ini menguasai dunia kesehatan baik di luar maupun di dalam negeri

Lewat karya- karyanya, Ibu Siti berusaha untuk menyentil kalangan pemimpin negara-negara maju, termasuk negara adidaya Amerika Serikat. Dokter lulusan UGM yang sudah menghasilkan 150 karya ilmiah ini mengajak bangsa-bangsa di dunia untuk lebih berani menghadapi pembodohan yang terus digenjarkan oleh negara-negara maju . Selama ini bangsa-bangsa di dunia seolah menyerah begitu saja pada perilaku negara-negara maju. Mereka tidak saja melakukan penindasan di bidang politik, militer, dan ekonomi, tetapi juga melalui forum kesehatan. Ilmu pengetahuan yang maju seharusnya bukan untuk menipu bangsa yang belum maju. Ilmu pengetahuan yang maju hendaknya untuk kesejahteraan umat manusia, bukan untuk menjajah umat manusia yang tidak berdaya.

Oleh: Dian Eka Ayu Pitaloka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar